Sabtu, 27 Juni 2015

KERAJAAN MEDANG

Kerajaan Medang 
(atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) 
adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.
Kerajaan Medang pada Periode Jawa Tengah dan Jawa Timur

Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.

Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah Satu daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.

Pusat Kerajaan Medang

Letak Mataram Kuno periode Jawa Tengah.

Pusat Kerajaan Medang periode Jawa Timur.

Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.

Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,

Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.

Awal berdirinya kerajaan
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan Sanna.

Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.

Dinasti yang berkuasa

Bukti terawal sistem mata uang di Jawa. Emas atau keping tahil Jawa, sekitar abad ke-9.


Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.

Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.

Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.

Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.

Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.

Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.

Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.

Daftar raja-raja Medang
Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut:


Candi Prambanan dari abad ke-9, terletak di Prambanan, Yogyakarta, dibangun antara masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung.
Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang
Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra
Rakai Panunggalan alias Dharanindra
Rakai Warak alias Samaragrawira
Rakai Garung alias Samaratungga
Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
Rakai Watuhumalang
Rakai Watukura Dyah Balitung
Mpu Daksa
Rakai Layang Dyah Tulodong
Rakai Sumba Dyah Wawa
Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
Makuthawangsawardhana
Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.

Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.

Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.

Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.

Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.

Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.



Temuan Wonoboyo berupa artifak emas menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.

keadaan penduduk
Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Konflik takhta periode Jawa Tengah
Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.

Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya.

Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula.

Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.

Teori van Bammelen
Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu.

Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.

Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.

Permusuhan dengan Sriwijaya
Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.

Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.

Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.

Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.

Peristiwa Mahapralaya
Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.

Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Peninggalan sejarah
candi prambanan







(Kiri) Avalokitesvara lengan-dua. Jawa Tengah, abad ke-9/ke-10, tembaga, 12,0 x 7,5 cm. (Tengah: Chundā lengan-empat, Jawa Tengah, Wonosobo, Dataran Tinggi Dieng, abad ke-9/10, perunggu, 11 x 8 cm. (Kanan) Dewi Tantra lengan-empat (Chundā?), Jawa Tengah, Prambanan, abad ke 10, perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak di Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem.
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.


Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.

MENURUT PRASASTI WANUA TENGAH III 830 CAKA (1 OKTOBER 908 M) .LIHAT DAFTAR RAJA JAWA MENURUT VERSI PRASASTI WANUA TENGAH III DI BAWAH INI Kerajaan Keling (KALINGGA DI KELING KEPUNG KEDIRI /SEKARANG ADALAH BAGIAN WILAYAH JAWA TIMUR) 1. Prabhu Wasumurti 594-605 2. Prabhu Wasugeni 605-632 3. Prabhu Wasudewa 632-652 4. Prabhu Wasukawi 652- 5.. Prabhu Kirathasingha 632-648 7. Prabhu Kartikeyasingha sang mokteng Mahamerwacala 648-674 8. Sri Maharani Mahisasuramardini Satyaputikeswara (Dewi Shimha) 674-695 Dimasa ini Ibukota Kerajaan Keling Kalingga Di Pindah Ke Sekitar JEPARA ,KEMUDIAN KALINGGA dibagi dua: A. Kerajaan Bhumi Sambhara (Keling) 1. Rakryan Narayana Prabhu Iswarakesawalingga Jagatnata Bhuwanatala 695-742 2. Rakryan Dewasingha Prabhu Iswaralingga Jagatnata 742-760 3. Rakryan Limwana Prabhu Gajayanalingga Jagatnata 760-789 4. Dewi Satyadarmika (Uttejana!) menikah dengan Rakai Panangkaran B. Kerajaan Bhumi Mataram (Medang) 1. Rani Dewi Parwati Tunggalpratiwi 695-709 2. Dewi Sannaha 709-716 3. Sang Bratasennawa (Sanna) 716-732 4. Prabhu Sanjaya Ksatrabhimaparakrama Yudhenipuna Bratasennawaputra (Rakai Medang Sang Ratu Sanjaya) 732-754 5. Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Sangkara Tejahpurnapana Panangkarana 754-782 Wangsa Sailendra a. Sri Maharaja Dharanindra Sang Prabhu Sri Wirawairimathana (raja daerah di Bhumisambara 755-782) 782-801 b. Sri Maharaja Samaratungga (Samaragrawira) 801-846 c. Pramodawardhani (Sri Kahulunan) menikah dengan Rakai Pikatan 6. Rakai Panunggalan Lingganagarottama (Prabhu Dyah Panunggalan Bhimaparakrama Linggaprawita Jawabhumandala) 782-800 7. Rakai Warak Dyah Watukura Lingganarottama Satyajayabhumi 800-819 8. Rakai Garung Dang Rakarayan Patapan Pu Palar 819-840 9. Rakai Pikatan Dyah Kamulyan Sang Prabhu Linggeswara Sakalabhumandala 840-856 10. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (Sri Maharaja Kayuwangi Tunggalkawasa Sakalabhumi / Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Sri Sajanotsawatungga) 856-886 11. Sri Maharaja Gurunwangi Dyah Saladu & Rakai Gurunwangi Dyah Ranumanggala 886-890 12. Sri Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra 890-896 13. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (Pu Tguh!) 896-898 14. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambhu (Sri Iswarakesawa Samarottungga) 898-910 15. Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya (Rakai Kalungwarak Pu Daksa) 910-919 16. Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana Sanmattanuragatunggadewa 919-924 17. Sri Maharaja Rakai Pangkaja/Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamotungga 924-929 18. Sri Maharaja Rakai Hino Pu Sindok Sri Isanawikramadharmotunggadewa 929-947 19. Rani Sri Isanatunggawijaya & Sri Lokapala 947-960! 20. Sri Maharaja Makutawangsawardhana 960!-980! 21. Sri Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa (Sang Apanji Wijayamertawardhana) 980!-1016 22. Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramotunggadewa 1019-1043 Kerajaan dibagi 2, Pangjalu dan Janggala. Versi Prasasti Wanua Tengah III 830 S (1 Oktober 908) 1. Rahyangta ri Mdang (Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya) 2. Rahyangta i Hara 3. Rakai Panangkaran 7 Oktober 746- 1 April 784 4. Rakai Panaraban 1 April 784- 28 Maret 803 5. Rakai Warak Dyah Wanara 28 Maret 803- 5 Agustus 827 6. Dyah Gula (hanya 6 bulan) 5 Agustus 827- 24 Januari 828 7. Rakai Garung 24 Januari 828- 22 Februari 847 8. Rakai Pikatan Dyah Saladu 22 Februari 847- 27 Mei 855 9. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala 27 Mei 855- 5 Februari 885 10. Dyah Tagwas (hanya 8 bulan) 5 Februari - 27 September 885 11. Rakai Panumwangan Dyah Dewendra 27 September 885- 27 Januari 887 12. Rakai Gurunwangi Dyah Bhadra (hanya 1 bulan) 27 Januari - 24 Februari 887 13. Rakai Limus Dyah Dewindra 887-894 14. Rakai Wungkalhumalang Dyah Jbang 27 November 894-23 Mei 898 15. Rakai Watukura Dyah Balitung 23 Mei 898- ? Kerajaan Janggala 1. Sri Maharaja Mapanji Garasakan 1041/3-1049 2. Sri Maharaja Sri Samarotsaha Karnnakeshana Ratnasangkha Kirttisingha Jayantaka Tunggadewa 1049-1059 3 a. Sri Maharaja Garasakan (Raja Janggala-Pangjalu) 1049-1052 3b. Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes Makoputadhanu Sri Ajnajabharitamawakana (Raja Janggala-Pangjalu) 1052-1059 4. Sri Maharaja Rake Hino Sri Kretapati 1059- ? Kerajaan Pangjalu (Kadiri) 1. Sri Samarawijaya Dhanasuparnnawahana Tguh Uttunggadewa 1041/3-1049 2a.Sri Maharaja Jitendrakara Wuryyawiryya Parakrama Bhakta 1051 (Prasasti Mataji) 2b. Mapanji Alanjanung 1049-1052 3. Sang Jayawisesa Digjayasastraprabhu 1052-1102 4. Sri Maharaja Jayabhuwana Keshananantawikramottunggadewa 1102-1104 5. Sri Maharaja Jayawarsa Digjayasastraprabhu 1104-1115 6. Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Parameswara Sakalabhuwana 1115-1117 7. Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Bameswara Sarwwayasa Wiryjanagara 1117-1135 8. Sri Maharaja Sri Warmmeswara (Jayabhaya) 1135-1159 9. Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Sarwweswara 1159-1169 (1171!) 10. Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryyeswara 1169-1181 11. Sri Maharaja Sri Kroncaryyadipa Sri Gandra 1181-1182(1185!) 12. Sri Maharaja Kameswara Triwikrama 1182-1194(!) 13. Sri Maharaja Sarwweswara (Srengga) 1194-1205(!) 14. Sang Prabhu Kretajaya (Prabhu Dangdanggendis) 1205(!)-1222 15. Sang Prabhu Jayasabha 1222-1258 16. Sang Prabhu Sastrajaya 1258-1271 17. Sang Prabhu Jayakatwang 1271-1293 Kerajaan Tumapel (vasal Panjalu) 1. Tunggul Ametung 1218-1220 2. Ken Arok 1220-1222 Kerajaan Tumapel di Kutaraja 1. Sri Rajasa Bhattara Sang Amurwabhumi (Ranggah Rajasa atau Bhatara Siwa) 1222-1227 kerajaan dibagi 2: A. Kerajaan Panjalu di Daha 1. Mahisa Wongateleng (Bhatara Parameswara) 1227- ! 2. Nararya Guning Bhaya (Agni Bhaya) ! - ! 3. Nararya/Panji Tohjaya ! -1250 B.Kerajaan Tumapel di Kutaraja & Singhasari(1254) 1. Sang Anusapati (Anusanatha) 1227-1248 2. Sri Jaya Wisnuwarddhana (Mapanji Sminingrat/Ranggawuni) 1248-1268 3. Sri Maharajadhiraja Sri Kertanagara Wikramadharmottunggadewa (Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wiraasta Basudewadhipa Aniwariwiryanindita Parakrama Murdhaja) 1268-1292 KERAJAAN MAJAPAHIT IYANG BERIBUKOTA DI TROWULAN 1. Sri Kertarajasa Jayawarddhana Anantawikrama Uttunggadewa (Nararya Sanggramawijaya atau Sri Harsawijaya) 1293-1309 2. Sri Jayanagara atau Kalagemet (Sri Sundarapandyadewadhiswaranamarajabhiseka Wikramottunggadewa) 1309-1328 3. Sri Tribhuwanottunggaraja Anantawikramottunggadewi (Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddhani atau Tribhuwanawijayattunggadewi) 1328-1351 4. Maharaja Sri Rajasanagara Bhra Hyang Wekas ing Sukha (Hayam Wuruk atau Rajasarajaya) 1351-1389 5a. Wikramawarddhana (Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama atau Raden Gagaksali) Raja Kedaton Kulon 1389-1429 5b. Kusumawarddhani (Raja Kedaton Kulon) 1400-1401 6a. Paduka Parameswara Sri Wijayarajasa (Raja Kedaton Wetan) 1376-1398 6b. Bhre Wirabhumi (Raja Kedaton Wetan) 1398-1406 7. Suhita (Prabhu Stri) 1429-1447 8. Sri Maharaja Wijayaparakramawarddhana Dyah Kertawijaya (Bhre Tumapel atau Prabhu Brawijaya) 1447-1451 9. Sri Rajasawarddhana Sang Sinagara (Bhre Pamotan) 1451-1453 Interregnum 1453-1456 10. Girisawarddhana Dyah Suryawikrama Bhra Hyang Purwawisesa (Bhre Wengker) 1456-1466 11. Sri Singhawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa (Bhre Pandan Salas atau Bhre Kertabhumi) 1466-1478 IBU KOTA MAJAPAHIT DI PINDAH KE DAHA KEDIRI (IBUKOTA KERAJAAN KELING /KALINGGA DIZAMAN DAHULU)NAMA KERAJAANNYA ADALAH WILWATIKTA JENGGALA PANJALU KEDIRI 1. Girindrawarddhana Dyah Wijayakarana Sang Mokta ring Amretawisesalaya (Bhre Mataram) 1478-1482 2. Girindrawarddhana Singhawarddhana Dyah Wijayakusuma Sang Mokta ring Mahalayabhawana (Bhre Pamotan) 1483-1486 3. Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya (Bhatara Wijaya atau Bhre Kertabhumi) 1486-1527. Kalingga di keling kepung kediri,kalingga di jepara,mataram kuno,kanjuruhan,medhang ,jenggala,panjalu,daha kediri,singasari,majapahit, bukankah semua adalah keluarga yang berserak.yang awalnya hanya satu keluarga di kerajaan keling kalingga Kediri?.

1 komentar:

  1. Sang Hyang Adam keturunan Sang Hyang Manu dan Sang Hyan Manu keturunan Sang Hyang Brahma manifestasi Tuhan Sang Hyang Jagat Paramasiwa

    BalasHapus