Minggu, 28 Juni 2015

CANDI SUKUH KARANG ANYAR

Candi Sukuh KARANG ANYAR
MENURUT PENDAPATKU
Rahayu sagung Dumadi.Candi sukuh Dilihat Dari Bentuk Dan Filosofinya Sangat Berbeda Dengan Candi Candi Lain Di Nusantara,. Candi Sukuh berkonsep SANGKAN PARANING DUMADI .Yang Berarti Dari Mana Asal Usul manusia.,untuk apa hidup didunia ini,dan akan kemana Kembalinya Setelah semua inI .ini adalah Candi JAWA (Dalam Arti KAWERUH JAWADWIPA ASLI YAITU ASAL USUL ORANG JAWA YANG BERASAL DARI KAUM JAWA-TA ,LELUHUR ORANG JAWA ADALAH SANG HYANG ADHAMA/SANG HYANG JANMA WALIJAYA,Orang Arab Dan Timur Tengah Meyebutnya Dengan Sebutan NABI ADAM AS ).Sungguh pantas Ahli Purbakala Mengira CANDI ini Berusia 10.000 th...yang dilestarikan hingga zaman MAJAPAHIT,ABAD 14 M.MAKA SETELAH DIZAMAN MAJAPAHIT KONSEP CANDI SUKUH SUDAH BERUBAH KARNA PENGARUH AGAMA TERTENTU.YANG AWALNYA BERKONSEP KAWERUH JAWA ASLI DAN PADA AHIRNYA BERUBAH KONSEP GUNUNG LAWU (PUNCAK argodumilah adalah KAHYANGAN PERTAMA YANG DIBANGUN OLEH BATARA GURU/SRI MAHA RAJA MAHADEWA BUDA.YANG KEMUDIAN KAHYANGAN TERSEBUT MENJADI SUATU KERAJAAN YANG PERTAMA DI BUMI NUSANTARA YANG BERNAMA MEDHANG KAMULAN ,MEDHANG KAMULAN ADALAH KELANJUTAN DARI KERAJAAN KUSNIA MALEBARI YAITU KERAJAAN NABI ADAM AS (SANG HYANG JANMA WALIJAYA/SANG HYANG ADAMA. .BATARA GURU ADALAH GENERASI KE 7 NABI ADAM.Sedangkan di wilayah kaki GUNUNG LAWU INI BANYAK DITEMUKAN FOSIL MANUSIA PURBA YANG BERUSIA 2 JUTA TH..LIHAT DI MUSEUM TRINIL ,KALO CANDI SUKUH BERUSIA 10 RIBU TAHUN KEDENGARAN-NYA MEMANG TUA...TAPI KALO LIHAT SEJARAH KERAJAAN MEDANG KAMULAN DARI KITAB PUSTAKA RAJA PURWA ,WOW PERADABAN GUNUNG LAWU ATAU GUNUNG MAHENDRA INI SANGAT TUA. LHO HEHEHE.
Bangunan Utama Candi Sukuh.yang mirip bangunan suku aztec



CANDI SUKUH MENURUT PARA AHLI SEJARAH
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi agama Hindu yang secara administrasi terletak di wilayah Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah. Candi ini dikategorikan sebagai candi Hindu karena ditemukannya obyek pujaan lingga dan yoni. Candi ini dianggap kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena penggambaran alat-alat kelamin manusia secara eksplisit pada beberapa figurnya.

Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.

Sejarah singkat penemuan
Situs candi Sukuh dilaporkan pertama kali pada masa pemerintahan Britania Raya di tanah Jawa pada tahun 1815 oleh Johnson, Residen Surakarta. Johnson kala itu ditugasi oleh Thomas Stanford Raffles untuk mengumpulkan data-data guna menulis bukunya The History of Java. Setelah masa pemerintahan Britania Raya berlalu, pada tahun 1842, Van der Vlis, arkeolog Belanda, melakukan penelitian. Pemugaran pertama dimulai pada tahun 1928.

Lokasi candi
Lokasi candi Sukuh terletak di lereng kaki Gunung Lawu pada ketinggian kurang lebih 1.186 meter di atas permukaan laut pada koordinat 07o37, 38’ 85’’ Lintang Selatan dan 111o07,. 52’65’’ Bujur Barat. Candi ini terletak di Dukuh Sukuh, Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Candi ini berjarak kurang lebih 20 kilometer dari kota Karanganyar dan 36 kilometer dari Surakarta.

Struktur bangunan candi

Denah candi Sukuh.
Bangunan candi Sukuh memberikan kesan kesederhanaan yang mencolok pada para pengunjung. Kesan yang didapatkan dari candi ini sungguh berbeda dengan yang didapatkan dari candi-candi besar di Jawa Tengah lainnya yaitu Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Bentuk bangunan candi Sukuh cenderung mirip dengan peninggalan budaya Maya di Meksiko atau peninggalan budaya Inca di Peru. Struktur ini juga mengingatkan para pengunjung akan bentuk-bentuk piramida di Mesir.

Kesan kesederhanaan ini menarik perhatian arkeolog termashyur Belanda, W.F. Stutterheim, pada tahun 1930. Ia mencoba menjelaskannya dengan memberikan tiga argumen. Pertama, kemungkinan pemahat Candi Sukuh bukan seorang tukang batu melainkan tukang kayu dari desa dan bukan dari kalangan keraton. Kedua, candi dibuat dengan agak tergesa-gesa sehingga kurang rapi. Ketiga, keadaan politik kala itu dengan menjelang keruntuhan Majapahit, tidak memungkinkan untuk membuat candi yang besar dan megah.

Para pengunjung yang memasuki pintu utama lalu memasuki gapura terbesar akan melihat bentuk arsitektur khas bahwa ini tidak disusun tegak lurus namun agak miring, berbentuk trapesium dengan atap di atasnya.

Batu-batuan di candi ini berwarna agak kemerahan, sebab batu-batu yang dipakai adalah jenis andesit..

Teras pertama candi

Gapura utama candi Sukuh.
Pada teras pertama terdapat gapura utama. Pada gapura ini ada sebuah sengkala memet dalam bahasa Jawa yang berbunyi gapura buta aban wong ("raksasa gapura memangsa manusia"), yang masing-masing memiliki makna 9, 5, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1359 (Saka) (1437 Masehi). Angka tahun ini sering dianggap sebagai tahun berdirinya candi ini, meskipun lebih mungkin adalah tahun selesainya dibangun gapura ini. Di sisi sebelahnya juga terdapat relief sengkala memet berwujud gajah bersorban yang menggigit ekor ular. Ini dianggap melambangkan bunyi gapura buta anahut buntut ("raksasa gapura menggigit ekor"), yang juga dapat ditafsirkan sebagai 1359 Saka.

Relief sengkala pada gapura

Sengkala memet (gambar) yang ditafsirkan sebagai gapura buta aban wong.


Sengkala memet yang ditafsirkan sebagai gapura buta anahut buntut.


Teras kedua candi
Gapura pada teras kedua sudah rusak. Di kanan dan kiri gapura terdapat patung penjaga pintu atau dwarapala yang biasa ada, namun dalam keadaan rusak dan sudah tidak jelas bentuknya lagi. Gapura sudah tidak beratap dan pada teras ini tidak terdapat banyak patung-patung. Pada gapura ini terdapat sebuah candrasangkala dalam bahasa Jawa yang berbunyi gajah wiku anahut buntut yang berarti “Gajah pendeta menggigit ekor” dalam bahasa Indonesia. Kata-kata ini memiliki makna 8, 7, 3, dan 1. Jika dibalik maka didapatkan tahun 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi.

Teras ketiga candi
Pada teras ketiga ini terdapat pelataran besar dengan candi induk dan beberapa panel berelief di sebelah kiri serta patung-patung di sebelah kanan.

Tepat di atas candi utama di bagian tengah terdapat sebuah bujur sangkar yang kelihatannya merupakan tempat menaruh sesajian. Di sini terdapat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga terlihat masih sering dipergunakan untuk bersembahyang.

Kemudian pada bagian kiri candi induk terdapat serangkaian panel dengan relief yang menceritakan mitologi utama Candi Sukuh, Kidung Sudamala. Urutan reliefnya adalah sebagai berikut.

Panel pertama

Panel pertama.
Di bagian kiri dilukiskan sang Sahadewa atau Sadewa, saudara kembar Nakula dan merupakan yang termuda dari para Pandawa Lima. Kedua-duanya adalah putra Prabu Pandu dari Dewi Madrim, istrinya yang kedua. Madrim meninggal dunia ketika Nakula dan Sadewa masih kecil dan keduanya diasuh oleh Dewi Kunti, istri utama Pandu. Dewi Kunti lalu mengasuh mereka bersama ketiga anaknya dari Pandu: Yudhistira, Bima dan Arjuna. Relief ini menggambarkan Sadewa yang sedang berjongkok dan diikuti oleh seorang punakawan atau pengiring. Berhadapan dengan Sadewa terlihatlah seorang tokoh wanita yaitu Dewi Durga yang juga disertai seorang punakawan.

Panel kedua

Panel kedua.
Pada relief kedua ini dipahat gambar Dewi Durga yang telah berubah menjadi seorang raksasi (raksasa wanita) yang berwajah mengerikan. Dua orang raksasa mengerikan; Kalantaka dan Kalañjaya menyertai Batari Durga yang sedang murka dan mengancam akan membunuh Sadewa. Kalantaka dan Kalañjaya adalah jelmaan bidadara yang dikutuk karena tidak menghormati Dewa sehingga harus terlahir sebagai para raksasa berwajah buruk. Sadewa terikat pada sebuah pohon dan diancam dibunuh dengan pedang karena tidak mau membebaskan Durga. Di belakangnya terlihat antara lain ada Semar. Terlihat wujud hantu yang melayang-layang dan di atas pohon sebelah kanan ada dua ekor burung hantu. Lukisan mengerikan ini kelihatannya ini merupakan lukisan di hutan Setra Gandamayu (Gandamayit) tempat pembuangan para dewa yang diusir dari sorga karena pelanggaran.

Panel ketiga

Panel ketiga.
Pada bagian ini digambarkan bagaimana Sadewa bersama punakawannya, Semar berhadapan dengan pertapa buta bernama Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa di pertapaan Prangalas. Sadewa akan menyembuhkannya dari kebutaannya.

Panel keempat

Panel keempat.
Adegan di sebuah taman indah memperlihatkan sang Sadewa sedang bercengkerama dengan Tambrapetra dan putrinya Ni Padapa serta seorang punakawan di pertapaan Prangalas. Tambrapetra berterima kasih dan memberikan putrinya kepada Sadewa untuk dinikahinya.



Panel kelima

Adegan panel kelima.
Panel ini menggambarkan adegan adu kekuatan antara Bima dan kedua raksasa Kalantaka dan Kalañjaya. Relief hanya menunjukkan salah satu dari kedua raksasa. Bima dengan kekuatannya yang luar biasa sedang mengangkat raksasa tersebut untuk dibunuh dengan kuku pañcanakanya. Inskripsi bertulisan aksara Kawi berbahasa Jawa Kuna, berbunyi padamel rikang buku[r] tirta sunya, yang merupakan sengkalan berarti 1361 Saka (1439 M).

Patung-patung sang Garuda















Prasasti Sukuh








lingga yoni






rahim



garuda





Prasasti sukuh.
Lalu pada bagian kanan terdapat dua buah patung Garuda yang merupakan bagian dari cerita pencarian tirta amerta (air kehidupan) yang terdapat dalam kitab Adiparwa, kitab pertama Mahabharata. Pada bagian ekor sang Garuda terdapat sebuah inskripsi (tatahan tulisan) berbunyi lawase rajeg wesi duk pinerp kapeteg dene wong medang ki hempu rama karubuh alabuh geni harbut bumi kacaritane babajang mara mari setra hanang tang bango menurut bacaan Darmosoetopo (1984). Pada intinya inskripsi ini merupakan suryasengkala yang melambangkan tahun 1363 Saka (1441 M)[1].

Kemudian sebagai bagian dari kisah pencarian amerta tersebut di bagian ini terdapat pula tiga patung kura-kura yang melambangkan bumi dan penjelmaan Dewa Wisnu. Bentuk kura-kura ini menyerupai meja dan ada kemungkinan memang didesain sebagai tempat menaruh sesajian. Sebuah piramida yang puncaknya terpotong melambangkan Gunung Mandaragiri yang diambil puncaknya untuk mengaduk-aduk lautan mencari tirta amerta.

Lihat kisah Pemutaran Laut Mencari Amerta
Beberapa bangunan dan patung lainnya
Selain candi utama dan patung-patung kura-kura, garuda serta relief-relief, masih ditemukan pula beberapa patung hewan berbentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Pada zaman dahulu para ksatria dan kaum bangsawan berwahana gajah.

Lalu ada pula bangunan berelief tapal kuda dengan dua sosok manusia di dalamnya, di sebelah kiri dan kanan yang berhadapan satu sama lain. Ada yang berpendapat bahwa relief ini melambangkan rahim seorang wanita dan sosok sebelah kiri melambangkan kejahatan dan sosok sebelah kanan melambangkan kebajikan. Namun hal ini belum begitu jelas.




Mari kita lirik keindahan dan keluasan alam makrokosmos di dalam diri kita,mencebur dan kemudian hidup abadi di dalam genggaman-Nya.tata kembali kosmos dalam diri ini. Perubahan sekecil apapun di hati/rasa/qalbu…,owah gingsirnya batin kita hakikatnya adalah perubahan yang sangat besar karena perubahan itu terjadi di... arasy makromosmos. 

  Jika ruang sunyi di hatimu terganggu oleh buar dan suara-suara nafsu,masuklah ke dalam bilih ruhmu, karena dalam bilik ruhmu ada hamparanagung Sirrmu, dimana sunyimu menjadi sirnamu kepadaNya, bahkan tak kausadari kau panggil-panggil namaNya, karena kau telah berdiri di depan GerbangNya

 Kekosongan atau kehampaan yang diusahakan adalah wujud dariKesombongan,kekosongan dan kehampaan hanya bisa diraih dengan tumungkuling rasa, andap asoring manah,kesadaran diri bahwa kita ini bukan apa-apa dan bukan Siapa-siapa dihadirat Gusti kang murbeng Dumadi dan kesadaran diri marang sakpodo padaning tumitah tumrap-ing urip bebrayan.

  Tiap saat kita mampu menempatkan diri dihadirat Gusti dalam perbandingan yang wajar bahwa manusia itu memang bukan apa apa dan Gusti adalah Segalanya..daya kodrat manusia tidak mampu untuk memberikan kesadaran yang demikian,selain manusia dapat kurnia yang bisa mengatasi kelekatan manusia pada rasa keakuan-nya,karena itu sifat rendah diri tersebut disebut sifat rendah diri manusia yang dibangkitkan oleh rahmat..kalau kita memang percaya kalau suwung itu amengku ana,maka sudah selayaknya-lah kalau kita dalam kehidupan sehari-hari menyadari kebukan apa apa-an kita..
Gusti itu Baru Kang-Murbeng Dumadi ,bila diperlakukan sebagai Gusti ,oleh dumadi.

OLAH KEPRIBADIAN AGUNG PAMBUDI PANJI ASMARA 72 ,KEDIRI  


DI MASA LALU WILAYAH CANDI SUKUH KARANG ANYAR INI JUGA MERUPAKAN WILAYAH KERAJAAN KEDIRI LHO...NDAK PERCAYA LIHAT PETA KERAJAAN KEDIRI DI BAWAH INI.


CANDI SUKUH MENURUT PENDAPATKU 
Rahayu sagung Dumadi.Candi sukuh Dilihat Dari Bentuk Dan Filosofinya Sangat Berbeda Dengan Candi Candi Lain Di Nusantara,. Candi Sukuh berkonsep SANGKAN PARANING DUMADI .Yang Berarti Dari Mana Asal Usul manusia.,untuk apa hidup didunia ini,dan akan kemana Kembalinya Setelah semua inI .ini adalah Candi JAWA (Dalam Arti KAWERUH JAWADWIPA ASLI YAITU ASAL USUL ORANG JAWA YANG BERASAL DARI KAUM JAWA-TA ,LELUHUR ORANG JAWA ADALAH SANG HYANG ADHAMA/SANG HYANG JANMA WALIJAYA,Orang Arab Dan Timur Tengah Meyebutnya Dengan Sebutan NABI ADAM AS ).Sungguh pantas Ahli Purbakala Mengira CANDI ini Berusia 10.000 th...yang dilestarikan hingga zaman MAJAPAHIT,ABAD 14 M.MAKA SETELAH DIZAMAN MAJAPAHIT KONSEP CANDI SUKUH SUDAH BERUBAH KARNA PENGARUH AGAMA TERTENTU.YANG AWALNYA BERKONSEP KAWERUH JAWA ASLI DAN PADA AHIRNYA BERUBAH KONSEP.
GUNUNG LAWU (PUNCAK argodumilah adalah KAHYANGAN PERTAMA YANG DIBANGUN OLEH BATARA GURU/SRI MAHA RAJA MAHADEWA BUDA.YANG KEMUDIAN KAHYANGAN TERSEBUT MENJADI SUATU KERAJAAN YANG PERTAMA DI BUMI NUSANTARA YANG BERNAMA MEDHANG KAMULAN ,MEDHANG KAMULAN ADALAH KELANJUTAN DARI KERAJAAN KUSNIA MALEBARI YAITU KERAJAAN NABI ADAM AS (SANG HYANG JANMA WALIJAYA/SANG HYANG ADAMA. .BATARA GURU ADALAH GENERASI KE 7 NABI ADAM.Sedangkan di wilayah kaki GUNUNG LAWU INI BANYAK DITEMUKAN FOSIL MANUSIA PURBA YANG BERUSIA 2 JUTA TH..LIHAT DI MUSEUM TRINIL ,KALO CANDI SUKUH BERUSIA 10 RIBU TAHUN KEDENGARAN-NYA MEMANG TUA...TAPI KALO LIHAT SEJARAH KERAJAAN MEDANG KAMULAN DARI KITAB PUSTAKA RAJA PURWA ,WOW PERADABAN GUNUNG LAWU ATAU GUNUNG MAHENDRA INI SANGAT TUA. LHO HEHEHE.






Sabtu, 27 Juni 2015

CANDI BUBRAH

Bangunan Candi Bubrah

Candi Bubrah terletak di dalam kawasan Taman Wisata Candi Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Sedikit sekali informasi yang diperoleh mengenai candi. Saat ini Candi Bubrah tinggal berupa batur (kaki candi), itu pun telah rusak. Onggokan batu bekas dinding candi digeletakkan di dekat bangunan candi. Nama ‘Bubrah’ dalam bahasa Jawa berarti hancur berantakan. Mungkin candi ini dinamakan Bubrah karena ketika ditemukan kondisinya memang sudah dalam keadaan (bubrah).

Meskipun demikian, candi ini masih dapat dikenali sebagai candi Buddha. Ukuran candi relatif kecil dengan denah dasar persegi panjang. Tinggi batur (kaki) candi sekitar dua meter. Sepanjang pelipit atas dihiasi dengan pahatan berpola simetris. Tidak terlihat adanya sisa-sisa relief pada dinding kaki candi. Tangga naik ke selasar di permukaan batur terletak di sebelah timur.


Karena berlokasi dekat Candi Sewu, yang juga berciri Buddha, maka diperkirakan Candi Bubrah dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno. Candi ini menghadap ke timur dan mempunyai ukuran 12 m x 12 m terbuat dari batu andesit. Saat pertama kali ditemukan masih terdapat beberapa arca Buddha, walaupun tidak utuh lagi. Beberapa arca Buddha yang terpenggal kepalanya, mungkin ulah tangan-tangan usil manusia, terletak di halaman candi.

Arca yang sudah terpenggal kepalanya (sumber foto: tarabuwana.blogspot.com)

Candi ini belum ditangani serius oleh pemerintah karena banyak bagian candi hilang sejak lama. Jangan heran kalau banyak wisatawan enggan mendatangi candi ini. Mungkin karena informasinya minim, hanya papan nama yang terdapat di sana.

Candi Bubrah adalah candi yang paling hancur dibandingkan candi-candi lain di kompleks taman wisata. ”Jujur saja, candi ini adalah candi yang paling tidak menarik di antara kompleks Candi Prambanan, lantaran hampir tidak ada yang bisa dilihat selain hancuran fisiknya saja,” ujar seorang pengunjung lokal. Mungkin candi ini hancur oleh gempa bumi besar abad ke-10 dan ke-16. Gempa bumi 27 Mei 2006 turut menyumbang kerusakan pada fisik candi ini. (Djulianto Susantio/dari berbagai sumber)https://hurahura.wordpress.com/2011/02/20/candi-bubrah/

CANDI ANGIN

Candi Angin 



CANDI ANGIN ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Candi Angin terdapat di desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Candi Angin menyimpan teka-teki yang belum terpecahkan, siapa pendirinya dan pada zaman kapan.


Pendiri
Adanya Candi Angin dan Candi Bubrah karena Resi Wigoyotoso datang ke Desa Tempur lalu membuat candi, candinya ini terbentuk sendiri jadi batunya datang sendiri dan membentuk sendiri menjadi sebuah candi.

Etimologi
Bagi para ahli spiritual saat datang di candi angin bisa melihat ada sebuah pusaran angin di lubang Candi Angin sehingga dinamakan candi angin.

LokasiLegenda Candi angin berkembang di Dukuh Duplak, Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara.

Sejarah
Menurut para penelitian Candi Angin lebih tua dari pada Candi Borobudur, Candi Angin di sinyalir adalah peninggalan Kerajaan Kalingga. Bahkan ada yang beranggapan kalau candi ini buatan manusia purba di karenakan tidak terdapat ornamen-ornamen Hindu-Budha.

PRASASTI TUK MAS

PRASASTI TUK MAS


Prasasti Tuk Mas (harafiah berarti "mata air emas") adalah sebuah prasasti yang dipahatkan pada batu alam besar yang berdiri di dekat suatu mata air, yang ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang. Prasasti Tuk Mas dipahat dengan aksara Pallawa dan dalam bahasa Sanskerta.Bentuk aksaranya lebih muda daripada aksara masa Purnawarman, dan diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-6 hingga abad ke-7 M.

Aksara prasasti ini sudah banyak yang rusak. Namun bagian yang masih dapat dibaca antara lain menyebutkan adanya sebuah sungai yang mengalir bagaikan Sungai Gangga di India. Pada prasasti ini terdapat pula lukisan alat-alat, seperti trisula, kendi, kapak, sangkha, cakra, dan bunga tunjung.

Teks prasasti
Berikut alih aksara teks prasasti menurut Drs. Boechari:

kwacit parwwatasānujātā
kwacic chilawaluka nirggateyam
kwacit prakirņna śubhasitatoya sam-
prasutam — .. — waganga


KERAJAAN KALINGGA ABAD 6-7 MASEHI

Kalingga 
KALINGGA atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Peta kerajaan Kalingga Menurut Sejarah saat ini 

Pengaruh kerajaan kalingga sampai daerah selatan Jawa Tengah, terbukti diketemukannya prasasti Upit/Yupit yang diperkirakan pada abad 6-7 M. Disebutkan dalam prasasti tersebut pada wilayah Upit merupakan daerah perdikan yang dianugerahkan oleh Ratu Shima. Daerah perdikan Upit sekarang menjadi Ngupit. Kampung Ngupit adalah kampung yang berada di Desa Kahuman/Desa Ngawen, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten. Prasasti Upit/Yupit sekarang disimpan di kantor purbakala Jateng di Prambanan.

Kisah lokal
Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong kakinya.

Carita Parahyangan
Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh.. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).

Setelah Maharani Shima meninggal pada tahun 732 M, Ratu Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.

Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.

Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.

Fakta
Di Puncak Rahtawu (Gunung Muria) dekat dengan Kecamatan Keling di sana terdapat empat arca batu, yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu. Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan bagaimana mengangkut arca tersebut ke puncak itu mengingat medan yang begitu berat. Pada tahun 1990, di seputar puncak tersebut, Prof Gunadi dan empat orang tenaga stafnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi Yogyakarta) menemukan Prasasti Rahtawun. Selain empat arca, di kawasan itu ada pula enam tempat pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak. Masing-masing diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.

Pengaruh Islam
Ada beberapa hal penting yang bertautan positif antara Kerajaan Kalingga yang bercorakkan Hindu Siwais dengan dunia Peradaban Islam, yaitu dalam sejarah[Islam pada tahun 30 Hijriyah atau 651 M Khalifah Utsman bin Affan pernah mengirimkan utusanya ke Daratan Cina dengan misi mengenalkan Islam, waktu itu hanya berselang 20 tahun dari wafanya Rasulullah SAW dan utusan tersebut sebelum sampai tujuan bersinggah dulu di Nusantara. Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan (644-657 M) juga pernah mengutus delegasinya bernama Muawiyah bin Abu Sufyan pernah mengirimkan utusanya ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga). Hasil kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay Shima, putra Ratu Shima dari Kalingga, masuk Islam, kemudian kalangan bangsawan Jawa yang memeluk Islam adalah Rakeyan Sancang seorang Pangeran dari Tarumanegara, Rakeyan Sancang hidup pada kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (656-661) . Rakeyan Sancang diceritakan, pernah turut serta membantu Imam Ali dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta ikut membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M). Kemudian yang tercatat dalam sejarah raja Sriwijaya yang masuk Islam adalah Sri Indravarman setelah kerusuhan Kanton meletus dimana banyak imigran muslim Cina masuk ke wilayah Sriwijaya yang terjadi pada Islam masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayyah).

Berita Cina
Berita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari zaman Dinasti Tang dan catatan I-Tsing.

Catatan dari zaman Dinasti Tang
Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling sebagai berikut.

Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera.
Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading.
Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa
Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.
Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Hsi-mo (Shima). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.

Catatan I-Tsing
Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Ho-ling ada pendeta Cina bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam Bahasa Tionghoa. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.

Peninggalan
Peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah:

Candi
Candi Angin

Candi Angin ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Candi Angin terdapat di desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Candi Angin menyimpan teka-teki yang belum terpecahkan, siapa pendirinya dan pada zaman kapan.


Pendiri
Adanya Candi Angin dan Candi Bubrah karena Resi Wigoyotoso datang ke Desa Tempur lalu membuat candi, candinya ini terbentuk sendiri jadi batunya datang sendiri dan membentuk sendiri menjadi sebuah candi.

Etimologi
Bagi para ahli spiritual saat datang di candi angin bisa melihat ada sebuah pusaran angin di lubang Candi Angin sehingga dinamakan candi angin.

LokasiLegenda Candi angin berkembang di Dukuh Duplak, Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara.

Sejarah
Menurut para penelitian Candi Angin lebih tua dari pada Candi Borobudur, Candi Angin di sinyalir adalah peninggalan Kerajaan Kalingga. Bahkan ada yang beranggapan kalau candi ini buatan manusia purba di karenakan tidak terdapat ornamen-ornamen Hindu-Budha.

CANDI BUBRAH

Candi Bubrah
Candi Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Prasasti
Prasasti Tukmas

Prasasti Tuk Mas (harafiah berarti "mata air emas") adalah sebuah prasasti yang dipahatkan pada batu alam besar yang berdiri di dekat suatu mata air, yang ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang.Prasasti Tuk Mas dipahat dengan aksara Pallawa dan dalam bahasa Sanskerta. Bentuk aksaranya lebih muda daripada aksara masa Purnawarman, dan diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-6 hingga abad ke-7 M.

Aksara prasasti ini sudah banyak yang rusak. Namun bagian yang masih dapat dibaca antara lain menyebutkan adanya sebuah sungai yang mengalir bagaikan Sungai Gangga di India.Pada prasasti ini terdapat pula lukisan alat-alat, seperti trisula, kendi, kapak, sangkha, cakra, dan bunga tunjung.

Teks prasasti
Berikut alih aksara teks prasasti menurut Drs. Boechari:

kwacit parwwatasānujātā
kwacic chilawaluka nirggateyam
kwacit prakirņna śubhasitatoya sam-
prasutam — .. — waganga
Prasasti Tukmas ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.

Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu. Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.

Prasasti Upit (disimpan di Kantor/Dinas Purbakala Jateng di Prambanan Klaten)
Kampung Ngupit merupakan daerah perdikan, yang dianugerahkan oleh Ratu Shima. Ngupit terletak di Desa Kahuman/Desa Ngawen, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten. Prasasti tersebut semula dijadikan alas/bancik padasan tempat untuk wudlu' di Masjid Sogaten, Desa Ngawen. Dan sejak tahun 1992 sudah disimpan di Kantor Purbakala Jawa tengah di Prambanan.

KEMUNGKINAN LAIN TENTANG KERAJAAN KALINGGA LIHAT PETA WILAYAH KERAJAAN KEDIRI YANG MENCAKUP SELURUH WILAYAH JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR 

BERITA LAIN TENTANG KERAJAAN KALINGGA.
BHUMI KEDIRI BHUMI Yang  Dipilih  Para  AVATARA WISNU Yang  Menitis  Kedunia Dari  Zaman Ke zaman ,Inilah mengapa  KEDIRI Dipilih  Menjadi IBU KOTA Kerajaan  Oleh Semua Titisan BATARA WISNU,,Lihat Sejarahnya .Abad Ke V KADHIRI Atau KEDIRI Adalah IBUKOTA Kerajaan KELING (KALINGGA) YANG ADA DI JAWA.Lokasinya Di KELING KEPUNG KEDIRI DI KAKI GUNUNG KELUD (SEKARANG ADALAH WILAYAH JAWA TIMUR ,dizaman dahulu wilayah Kediri itu luas meliputi seluruh wilayah Kerajaan Jenggala dan panjalu yaitu meliputi jawa tengah dan jawa timur .Kediri juga merupakan Ibukota KEMAHA RAJAAN HASTINAPURA Sejak zaman Purwa yang wilayahnya meliputi seluruh Nusantara bahkan asia tenggara yang kemudian berganti nama menjadi YAWASTINA Diera Prabu Yudayana Putra Parikesit,Kemudian YAWASTINA Yang dahulu adalah kraton HASTINAPURA Dikutuk oleh PRABU SRI AJI JAYABAYA Tenggelam oleh banjir lumpur dimasa pemerintahan ASTRADARMA (Menantu Jaya baya Raja Widarba mamenang Kediri),Kediri juga merupakan Ibukota Kerajaan WIDARBA yang beribukota di MAMENANG KEDIRI,di masa Pemerinahan Prabu Gendrayana yang dahulu Pernah menjadi raja Yawastina yang direbut oleh adik kandungnya yaitu Sudarsana),

di abad ke V -VI Masehi  Tercatat Raja Yang Berkuasa di KEDIRI Adalah :

1.PRABU WASUMURTI  594 M- 605 M,Memerintah KERAJAAN KELING /KALINGGA DI KELING KEPUNG KEDIRI Selama 11 Tahun.SEDANGKAN KERAJAAN KALINGGA DI INDIA DIPERINTAH OLEH RAJA BHANU NARASHIMA Selama 39 Th (580 M-619).RAJA BHANU NARASHIMA BERBESAN DENGAN PRABU WASUMURTI,YAITU PERKAWINAN ANTARA RAJA SANTANU (KIRATHA SINGHA) PUTRA PRABU BHANU NARASHIMA RAJA KALINGGA DI INDIA,.DENGAN DEWI WASUNDARI PUTRI PRABU WASUMURTI RAJA KELING/KALINGGA DI DAHA KEDIRI(KELING KEPUNG KEDIRI),

2.PRABU WASUGENI RAJA KELING/KALINGGA DI DAHA KEDIRI(KELING KEPUNG KEDIRI),605 M-632 M,Memerintah Selama 27 th,Beristri Dewi Paramitha Dari Kerajaan PALAWA Di INDIA.Dan Berputra PRABU WASUDEWA,

3.PRABU WASUDEWA  RAJA KELING/KALINGGA DI DAHA KEDIRI(KELING KEPUNG KEDIRI),632 M-652 M,Memerintah Selama 20 Tahun,

4.PRABU WASUKAWI RAJA KELING/KALINGGA DI DAHA KEDIRI(KELING KEPUNG KEDIRI),652 M,

5.PRABU KIRATHA SINGHA (Putra  RAJA BHANU NARASHIMA RAJA KALINGGA DI INDIA)Yang  Beristrikan DEWI WASUWARI PUTRI RAJA WASUMURTI DARI KERAJAAN KELING/KALINGGA DI (KELING KEPUNG KEDIRI),Berpindah Dari KERAJAAN KALINGGA DI INDIA,Karena  Ia Telah Di Angkat Menjadi  RAJA KALINGGA DI INDIA Menggantikan Ayahnya Yaitu RAJA BHANU NARASHIMA ,Ia Berkuasa Di INDIA Selama 13 TH Di INDIA Dari TH 619M-632 M,Kemudian  Ia pindah  KE JAWA Menjadi  RAJA DI JAWA Yaitu Di  KERAJAAN KELING/KALINGGA DI (KELING KEPUNG KEDIRI),Berkuasa Selama 16 Tahun 632 M-648 M,

6.PRABU KARTIKEYA SINGHA /SANG MOKTENG MAHAMERWACALA Kemudian  Menjadi Raja di KERAJAAN KELING /KALINGGA DI DAHA KEDIRI Memerintah Selama 26 TAHUN Yaitu dari  TH 648 M-674 M,Ia Juga  Merupakan  Keponakan Dari Raja Pendeta PENDIRI KERAJAAN SRIWIJAYA Yaitu  DAPUNTA HYANG yang Mendirikan KERAJAAN SRIWIJAYA TH 669 M-692 M,DAPUNTA HYANG Menikah Dengan PUTRI SOBAKANCANA PUTRI PRABU LINGGAWARMAN RAJA TARUMANAGARA Terahir Yang Berkuasa TH 666 M-669 M.DAPUNTA HYANG Yang kelak menurunkan DARMAPUTRA RAJA SRIWIJAYA.yang Berkuasa TAHUN 692 M-704 M.DAPUNTA HYANG PENDIRI KERAJAAN SRI WIJAYA JUGA PERNAH MELAMAR MAHARANI SIMA (JANDA RAJA KARTIKEYA SINGHA RAJA KALINGGA DI KELING KEPUNG KEDIRI).TAPI LAMARAN ITU DI TOLAK HINGGA HAMPIR MENIMBULKAN PEPERANGAN ANTARA SRI WIJAYA DAN KALINGGA,NAMUN DI LERAI OLEH SAUDARA DAPUNTA HYANG Yaitu TARUSBAWA (RAJA SUNDA KE I TH 669-723 M)PENDIRI KERAJAAN SUNDA YANG JUGA MENANTU PRABU LINGGAWARMAN RAJA TARUMANAGARA TERAHIR,DAN AHIRNYA PEPERANGANPUN DAPAT DI HINDARI.(inilah sebenarnya Kerajaan SRIWIJAYA Belum Pernah Menaklukkan KERAJAAN KALINGGA Sejak kalingga beribukota di kediri hingga ibu kota dipindah ke Jepara oleh Maharani sima). ,KARTIKEYA SINGHA /SANG MOKTENG MAHAMERWACALA (SAYAILENDRA )Mempunyai Dua Orang Istri yang Pertama Adalah DEWANILOKA PUTRI DARI KERAJAAN KALINGGA DI INDIA,YANG KEMUDIAN BERPUTRA BHUSWARA YANG MENJADI RAJA KALINGGA DI INDIA TAHUN 632 M-658 M).Istri kedua yaitu MAHARANI SIMA CUCU PRABU WASUGENI RAJA KALINGGA KE DUA DI KELING KEPUNG KEDIRI.DARI MAHARANI SIMA LAHIRLAH DUA ORANG ANAK YAITU RANI DEWI PARWATI (YANG MENURUNKAN DINASTI SANJAYA)DAN RAKRYAN NARAYANA(YANG MENURUNKAN RAJA RAJA KANJURUHAN DEWA SINGHA,DAN GAJAYANA.) 


Kemudian Pada Masa Pemerintahan MAHARANI SHIMA 674 M-695 M ,Pusat Kerajaan KALINGGA Di Pindah ke Sekitar Jepara  Pasca Kematian Raja Kartikeya Singha Suami MAHARANI SHIMA,,Kemudian KERAJAAN KALINGGA DI Bagi Dua ,Yaitu 

1.KALINGGA UTARA (BHUMI MATARAM/MEDHANG) DI Berikan Kepada RANI DEWI PARWATI (Putri ke satu)Yang Kelak Menikah Dengan MANDIMINYAK (RAJA GALUH KE II PUTRA RAJA WRETI KANDAYUN RAJA GALUH KE I),Dan Dari Perkawinannya ini Kelak Menurunkan Sanaha Yang Menikah Dengan Bratasenawa saudara satu ayah lain ibu yang ahirnya melahirkan Rakryan Jamri aliasa sanjaya (DINASTI SANJAYA ).Dan 

2.KALINGGA SELATAN (BHUMI SAMBHARA/KELING) Yang DiBerikan Kepada Adik Laki Laki RANI DEWI PARWATI Yaitu RAKRYAN NARAYANA Yang Kelak Menurunkan Raja Raja Kanjuruhan Yaitu DEWA SHINGA Yang Menurunkan GAJAYANA,

Jadi Dimanakah Kerajaan KELING KALINGGA Yang sebenarnya. JEPARA ATAU KELING KEPUNG KEDIRI?  Anda sudah tau jawabannya.

KERAJAAN MEDANG

Kerajaan Medang 
(atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) 
adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.
Kerajaan Medang pada Periode Jawa Tengah dan Jawa Timur

Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah.

Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah Satu daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.

Pusat Kerajaan Medang

Letak Mataram Kuno periode Jawa Tengah.

Pusat Kerajaan Medang periode Jawa Timur.

Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan ini berpusat di sana.

Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,

Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.

Awal berdirinya kerajaan
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.

Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan Sanna.

Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.

Dinasti yang berkuasa

Bukti terawal sistem mata uang di Jawa. Emas atau keping tahil Jawa, sekitar abad ke-9.


Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.

Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.

Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.

Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.

Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra” (Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.

Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.

Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.

Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.

Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.

Daftar raja-raja Medang
Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut:


Candi Prambanan dari abad ke-9, terletak di Prambanan, Yogyakarta, dibangun antara masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung.
Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang
Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Syailendra
Rakai Panunggalan alias Dharanindra
Rakai Warak alias Samaragrawira
Rakai Garung alias Samaratungga
Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
Rakai Watuhumalang
Rakai Watukura Dyah Balitung
Mpu Daksa
Rakai Layang Dyah Tulodong
Rakai Sumba Dyah Wawa
Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
Makuthawangsawardhana
Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.

Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.

Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.

Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.

Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.

Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri namun tidak berhak untuk naik takhta.

Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.

Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.



Temuan Wonoboyo berupa artifak emas menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.

keadaan penduduk
Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim.

Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.

Konflik takhta periode Jawa Tengah
Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.

Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya.

Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula.

Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai pegawai pengadilan.

Teori van Bammelen
Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan material vulkanik berupa abu dan batu.

Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.

Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.

Permusuhan dengan Sriwijaya
Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa Sriwijaya.

Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.

Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.

Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.

Peristiwa Mahapralaya
Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.

Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.

Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.

Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.

Peninggalan sejarah
candi prambanan







(Kiri) Avalokitesvara lengan-dua. Jawa Tengah, abad ke-9/ke-10, tembaga, 12,0 x 7,5 cm. (Tengah: Chundā lengan-empat, Jawa Tengah, Wonosobo, Dataran Tinggi Dieng, abad ke-9/10, perunggu, 11 x 8 cm. (Kanan) Dewi Tantra lengan-empat (Chundā?), Jawa Tengah, Prambanan, abad ke 10, perunggu, 15 x 7,5 cm. Terletak di Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem.
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.


Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.

MENURUT PRASASTI WANUA TENGAH III 830 CAKA (1 OKTOBER 908 M) .LIHAT DAFTAR RAJA JAWA MENURUT VERSI PRASASTI WANUA TENGAH III DI BAWAH INI Kerajaan Keling (KALINGGA DI KELING KEPUNG KEDIRI /SEKARANG ADALAH BAGIAN WILAYAH JAWA TIMUR) 1. Prabhu Wasumurti 594-605 2. Prabhu Wasugeni 605-632 3. Prabhu Wasudewa 632-652 4. Prabhu Wasukawi 652- 5.. Prabhu Kirathasingha 632-648 7. Prabhu Kartikeyasingha sang mokteng Mahamerwacala 648-674 8. Sri Maharani Mahisasuramardini Satyaputikeswara (Dewi Shimha) 674-695 Dimasa ini Ibukota Kerajaan Keling Kalingga Di Pindah Ke Sekitar JEPARA ,KEMUDIAN KALINGGA dibagi dua: A. Kerajaan Bhumi Sambhara (Keling) 1. Rakryan Narayana Prabhu Iswarakesawalingga Jagatnata Bhuwanatala 695-742 2. Rakryan Dewasingha Prabhu Iswaralingga Jagatnata 742-760 3. Rakryan Limwana Prabhu Gajayanalingga Jagatnata 760-789 4. Dewi Satyadarmika (Uttejana!) menikah dengan Rakai Panangkaran B. Kerajaan Bhumi Mataram (Medang) 1. Rani Dewi Parwati Tunggalpratiwi 695-709 2. Dewi Sannaha 709-716 3. Sang Bratasennawa (Sanna) 716-732 4. Prabhu Sanjaya Ksatrabhimaparakrama Yudhenipuna Bratasennawaputra (Rakai Medang Sang Ratu Sanjaya) 732-754 5. Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Sangkara Tejahpurnapana Panangkarana 754-782 Wangsa Sailendra a. Sri Maharaja Dharanindra Sang Prabhu Sri Wirawairimathana (raja daerah di Bhumisambara 755-782) 782-801 b. Sri Maharaja Samaratungga (Samaragrawira) 801-846 c. Pramodawardhani (Sri Kahulunan) menikah dengan Rakai Pikatan 6. Rakai Panunggalan Lingganagarottama (Prabhu Dyah Panunggalan Bhimaparakrama Linggaprawita Jawabhumandala) 782-800 7. Rakai Warak Dyah Watukura Lingganarottama Satyajayabhumi 800-819 8. Rakai Garung Dang Rakarayan Patapan Pu Palar 819-840 9. Rakai Pikatan Dyah Kamulyan Sang Prabhu Linggeswara Sakalabhumandala 840-856 10. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (Sri Maharaja Kayuwangi Tunggalkawasa Sakalabhumi / Sri Maharaja Rakai Kayuwangi Sri Sajanotsawatungga) 856-886 11. Sri Maharaja Gurunwangi Dyah Saladu & Rakai Gurunwangi Dyah Ranumanggala 886-890 12. Sri Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra 890-896 13. Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (Pu Tguh!) 896-898 14. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambhu (Sri Iswarakesawa Samarottungga) 898-910 15. Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajra Pratipaksaksaya (Rakai Kalungwarak Pu Daksa) 910-919 16. Sri Maharaja Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjana Sanmattanuragatunggadewa 919-924 17. Sri Maharaja Rakai Pangkaja/Sumba Dyah Wawa Sri Wijayalokanamotungga 924-929 18. Sri Maharaja Rakai Hino Pu Sindok Sri Isanawikramadharmotunggadewa 929-947 19. Rani Sri Isanatunggawijaya & Sri Lokapala 947-960! 20. Sri Maharaja Makutawangsawardhana 960!-980! 21. Sri Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa (Sang Apanji Wijayamertawardhana) 980!-1016 22. Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramotunggadewa 1019-1043 Kerajaan dibagi 2, Pangjalu dan Janggala. Versi Prasasti Wanua Tengah III 830 S (1 Oktober 908) 1. Rahyangta ri Mdang (Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya) 2. Rahyangta i Hara 3. Rakai Panangkaran 7 Oktober 746- 1 April 784 4. Rakai Panaraban 1 April 784- 28 Maret 803 5. Rakai Warak Dyah Wanara 28 Maret 803- 5 Agustus 827 6. Dyah Gula (hanya 6 bulan) 5 Agustus 827- 24 Januari 828 7. Rakai Garung 24 Januari 828- 22 Februari 847 8. Rakai Pikatan Dyah Saladu 22 Februari 847- 27 Mei 855 9. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala 27 Mei 855- 5 Februari 885 10. Dyah Tagwas (hanya 8 bulan) 5 Februari - 27 September 885 11. Rakai Panumwangan Dyah Dewendra 27 September 885- 27 Januari 887 12. Rakai Gurunwangi Dyah Bhadra (hanya 1 bulan) 27 Januari - 24 Februari 887 13. Rakai Limus Dyah Dewindra 887-894 14. Rakai Wungkalhumalang Dyah Jbang 27 November 894-23 Mei 898 15. Rakai Watukura Dyah Balitung 23 Mei 898- ? Kerajaan Janggala 1. Sri Maharaja Mapanji Garasakan 1041/3-1049 2. Sri Maharaja Sri Samarotsaha Karnnakeshana Ratnasangkha Kirttisingha Jayantaka Tunggadewa 1049-1059 3 a. Sri Maharaja Garasakan (Raja Janggala-Pangjalu) 1049-1052 3b. Sri Maharaja Mapanji Alanjung Ahyes Makoputadhanu Sri Ajnajabharitamawakana (Raja Janggala-Pangjalu) 1052-1059 4. Sri Maharaja Rake Hino Sri Kretapati 1059- ? Kerajaan Pangjalu (Kadiri) 1. Sri Samarawijaya Dhanasuparnnawahana Tguh Uttunggadewa 1041/3-1049 2a.Sri Maharaja Jitendrakara Wuryyawiryya Parakrama Bhakta 1051 (Prasasti Mataji) 2b. Mapanji Alanjanung 1049-1052 3. Sang Jayawisesa Digjayasastraprabhu 1052-1102 4. Sri Maharaja Jayabhuwana Keshananantawikramottunggadewa 1102-1104 5. Sri Maharaja Jayawarsa Digjayasastraprabhu 1104-1115 6. Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Parameswara Sakalabhuwana 1115-1117 7. Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Bameswara Sarwwayasa Wiryjanagara 1117-1135 8. Sri Maharaja Sri Warmmeswara (Jayabhaya) 1135-1159 9. Sri Maharaja Rake Sirikan Sri Sarwweswara 1159-1169 (1171!) 10. Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryyeswara 1169-1181 11. Sri Maharaja Sri Kroncaryyadipa Sri Gandra 1181-1182(1185!) 12. Sri Maharaja Kameswara Triwikrama 1182-1194(!) 13. Sri Maharaja Sarwweswara (Srengga) 1194-1205(!) 14. Sang Prabhu Kretajaya (Prabhu Dangdanggendis) 1205(!)-1222 15. Sang Prabhu Jayasabha 1222-1258 16. Sang Prabhu Sastrajaya 1258-1271 17. Sang Prabhu Jayakatwang 1271-1293 Kerajaan Tumapel (vasal Panjalu) 1. Tunggul Ametung 1218-1220 2. Ken Arok 1220-1222 Kerajaan Tumapel di Kutaraja 1. Sri Rajasa Bhattara Sang Amurwabhumi (Ranggah Rajasa atau Bhatara Siwa) 1222-1227 kerajaan dibagi 2: A. Kerajaan Panjalu di Daha 1. Mahisa Wongateleng (Bhatara Parameswara) 1227- ! 2. Nararya Guning Bhaya (Agni Bhaya) ! - ! 3. Nararya/Panji Tohjaya ! -1250 B.Kerajaan Tumapel di Kutaraja & Singhasari(1254) 1. Sang Anusapati (Anusanatha) 1227-1248 2. Sri Jaya Wisnuwarddhana (Mapanji Sminingrat/Ranggawuni) 1248-1268 3. Sri Maharajadhiraja Sri Kertanagara Wikramadharmottunggadewa (Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wiraasta Basudewadhipa Aniwariwiryanindita Parakrama Murdhaja) 1268-1292 KERAJAAN MAJAPAHIT IYANG BERIBUKOTA DI TROWULAN 1. Sri Kertarajasa Jayawarddhana Anantawikrama Uttunggadewa (Nararya Sanggramawijaya atau Sri Harsawijaya) 1293-1309 2. Sri Jayanagara atau Kalagemet (Sri Sundarapandyadewadhiswaranamarajabhiseka Wikramottunggadewa) 1309-1328 3. Sri Tribhuwanottunggaraja Anantawikramottunggadewi (Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddhani atau Tribhuwanawijayattunggadewi) 1328-1351 4. Maharaja Sri Rajasanagara Bhra Hyang Wekas ing Sukha (Hayam Wuruk atau Rajasarajaya) 1351-1389 5a. Wikramawarddhana (Bhra Hyang Wisesa Aji Wikrama atau Raden Gagaksali) Raja Kedaton Kulon 1389-1429 5b. Kusumawarddhani (Raja Kedaton Kulon) 1400-1401 6a. Paduka Parameswara Sri Wijayarajasa (Raja Kedaton Wetan) 1376-1398 6b. Bhre Wirabhumi (Raja Kedaton Wetan) 1398-1406 7. Suhita (Prabhu Stri) 1429-1447 8. Sri Maharaja Wijayaparakramawarddhana Dyah Kertawijaya (Bhre Tumapel atau Prabhu Brawijaya) 1447-1451 9. Sri Rajasawarddhana Sang Sinagara (Bhre Pamotan) 1451-1453 Interregnum 1453-1456 10. Girisawarddhana Dyah Suryawikrama Bhra Hyang Purwawisesa (Bhre Wengker) 1456-1466 11. Sri Singhawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa (Bhre Pandan Salas atau Bhre Kertabhumi) 1466-1478 IBU KOTA MAJAPAHIT DI PINDAH KE DAHA KEDIRI (IBUKOTA KERAJAAN KELING /KALINGGA DIZAMAN DAHULU)NAMA KERAJAANNYA ADALAH WILWATIKTA JENGGALA PANJALU KEDIRI 1. Girindrawarddhana Dyah Wijayakarana Sang Mokta ring Amretawisesalaya (Bhre Mataram) 1478-1482 2. Girindrawarddhana Singhawarddhana Dyah Wijayakusuma Sang Mokta ring Mahalayabhawana (Bhre Pamotan) 1483-1486 3. Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya (Bhatara Wijaya atau Bhre Kertabhumi) 1486-1527. Kalingga di keling kepung kediri,kalingga di jepara,mataram kuno,kanjuruhan,medhang ,jenggala,panjalu,daha kediri,singasari,majapahit, bukankah semua adalah keluarga yang berserak.yang awalnya hanya satu keluarga di kerajaan keling kalingga Kediri?.